Kebudayaan Indonesia yang Menghambat Kemajuan
Korupsi Sebagai Budaya Bangsa yang Menghambat Kemajuan
Latar belakangKorupsi merupakan sebuah permasalahan khas dari negeri  Indonesia yang masyarakatnya sebagian besar hidup dibawah garis  kemiskinan. Banyak orang mengatakan jika kita hidup susah atau diantara  orang yang susah, dalam diri kita akan tumbuh sifat saling menolong dan  peduli terhadap sesama. Tetapi nyatanya yang terjadi di negara ini  adalah sebaliknya. Orang tidak pernah peduli terhadap nasib yang menimpa  orang lain. Orang yang sudah kaya tidak mau berbagi terhadap yang  miskin. Bahkan yang miskinpun mencari cara untuk memperoleh keuntungan  dengan cara yang tidak benar. Ketika kita sedang berada di bawah, kita  tentu akan lantang meneriakkan anti korupsi, berbicara keadilan, dan  kesejahteraan rakyat. Tetapi apa yang akan terjadi ketika mungkin  diantara kita yang tadinya gigih memperjuangkan nasib rakyat kecil  mendapatkan kedudukan yang memungkinkan untuk berbuat curang ? Banyak  pejabat kita yang dulunya adalah orang yang paling menentang KKN, dan  meneriakkan keadilan, dan kesejahteraan, tetapi sekarang malah menjilat  lidah sendiri. Dia malah melakukan apa yang dulu dia tentang. Telah  berulang kali Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam menuai  prestasi korupsi. Dari tahun ke tahun, prestasi korupsi ini cenderung  meningkat. Kecenderungan ini dapat ditengok berdasarkan hasil survei  Political and Economic Risk Consultancy (PERC), berturut-turut dengan  indeks korupsi 7,31 (1995), 7,69 (1996), 8,67 (1997) dan 9,88 (1999)[1].  Ini adalah sebuah prestasi yang memalukan sebagai bangsa yang  bermartabat. Korupsi di Indonesia ibarat bau yang sudah sangat menyengat  setiap hari dinikmati sehingga sudah tidak dirasakan lagi karena sudah  terbiasa dengan baunya  sepanjang hari. Sehingga tidaklah mengherankan  ketika Transparency International (TI) tahun 2005 lalu mengeluarkan  laporan mengenai indeks persepsi korupsi (Transparency International  Corruption Perception Index 2005), hanya segelintir kalangan yang  memberikan komentar bernada prihatin tentang posisi Indonesia dalam yang  berada dalam urutan ke 137 dari 158 negara atau nomor 6 paling korup di  dunia (Kompas, 19 Oktober 2005). Lantas bagaimana signifikansinya  antara korupsi dengan perkembangan ekonomi dan politik di Indonesia.  Apakah korupsi menjadi sebuah tujuan politik ataukah untuk mencapai  suatu kemakmuran individu harus ditempuh dengan jalan korupsi. Lantas  bagaimana jika korupsi itu menjadi sebuah budaya, kemudian kemajuan  bangsa akan terhambat.  PembahasanPengertian korupsi            Banyak  definisi yang menjelaskan tentang arti korupsi, dan kesemuanya tentu  sudah sangat jelas dan dikenal oleh masyarakat luas. Baik korupsi dalam  arti sempit seperti menggelapkan uang publik atau yang bukan haknya  untuk kepentingan pribadi atau golongannya, maupun pengertian korupsi  yang dalam arti luas. KPK menjelaskan pengertian korupsi dalam arti luas  yang telah tercantum dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun  2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU itu  disebutkan 30 jenis tindak pidana korupsi. Korupsi dalam arti luas  mencakup tentang kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan  dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam  pengadaan, gratifikasi.[2] Selain itu masih ada lagi yang berkaitan  dengan tindak pidana korupsi yaitu segala hal/tindakan yang berusaha  untuk menutupi suatu perbuatan korupsi. Korupasi dan kekuasaan  negaraKorupsi di Indonesia, selalu berkaitan dengan perkembangan praktik  kekuasaan negara yang lekat dan mendaur-ulang dirinya di dalam sistem  yang korup[3]. Para birokrat baik sipil dan militer telah terlibat  kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik (political patron)  baik melalui pemberian lisensi, proyek dan kredit maupun monopoli dan  proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng,  ekonomi Terpimpin, dan ekonomi Orde Baru hingga masa pemulihan ekonomi  saat ini, patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang,  mencapai puncaknya dan kini masih terus bertahan.Menurut Afan Gaffar  (1999), budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecenderungan  pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa maupun  masyarakat. Oleh James Scott diistilahkan sebagai pola hubungan  patron-client.[4] Dari pola hubungan ini akan terjadi hubungan timbal  balik yang bersifat individual dengan mempertukarkan sumber daya yang  dimiliki oleh masing-masing. Sumber daya yang dimaksud bisa berupa  kekuasaan, kedudukan, jabatan, maupun berupa materi. Tentu ini berdampak  buruk dan menjadi pupuk untuk menumbuh kembangkan budaya korupsi (KKN)  sehingga bertahan sampai sekarang.Kasus korupsi yang terjadi di negara  berkembang biasanya telah menjadi sesuatu yang sistemik. Meluasnya  praktek korupsi adalah suatu gejala bahwa kontrol negara dan masyarakat  kurang berfungsi dan pada penyelenggaraan negara yang tidak efisien  dapat mengakibatkan kesalahan kebijakan dan memperlambat pertumbuhan  ekonomi. Adalah sangat berguna membedakan antara korupsi yang  terkosentrasi pada tingkat elit kekuasaan (grand corruption) dan korupsi  yang dilakukan secara ‘massal’ oleh oknum-oknum pengawai negeri (petty  corruptiom)[5]. Di Indonesia terutama pada masa rezim orde baru, kedua  jenis korupsi telah menjadi kebiasaan dan berkembang secara sistematik  dan meluas. Mulai dari hal pelayanan publik yang bersinggungan langsung  dengan masyarakat sampai kepada pemberian kredit dan proteksi kepada  pengusaha-pengusaha kroni dan berlaku kebiasaan KKN. Korupsi ini telah  menjadi sebuah budaya bangsa Indonesia yang telah mengakar dan  tersetruktur. Sehingga banyak kalangan pesimis untuk masalah  pemberantasan korupsi secara cepat. Butuh waktu yang sangat lama untuk  memberantas budaya korupsi ini. Penyebab Korupsi Korupsi yang merupakan  penyelewengan wewenang publik timbul karena kurangnya kontrol terhadap  kekuasaan yang dimiliki dan terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan  kekuasaan tersebut. Selain itu tentu ada juga motif-motif pribadi yang  mendorong terjadinya korupsi seperti ingin menjadi kaya dan memperoleh  pengakuan akan status sosial. Sejak korupsi disamakan dengan kejahatan,  terutama azas penyelewengan kepercayaan publik untuk kepentingan  pribadi, praktek-praktek korupsi mendapatkan perhatian serius dalam  pencegahan dan pemberantasannya. Terdapat lima kategori yang berkaitan  mencakup situasi paling penting yang menciptakan rangsangan korupsi  adalah (Susan Rose-Ackerman)[6] yaitu (1) Terbebaninya pemerintah dengan  pengalokasian keuntungan pada individu dan perusahaan yang menggunakan  kriteria hukum. (2) kemungkinan kecilnya insentif pejabat publik dalam  melakukan pekerjaan, sehingga sogokan menjadi sebuah alternatif. (3)  Perusahaan dan individu berupaya mengurangi pajak, bea, dan cukai dengan  melakukan sogok untuk memperkecil biaya yang seharusnya dibayarkan. (4)  Pemerintah memberikan kemudahan fasilitas dan keuangan pada pengusaha  melalui proteksi, pelelangan, privatisasi, dan pemberian konsensi. (5)  Sogokan dapat mengganti bentuk hokum (missal dalam pelanggaran lalu  lintas), mempengaruhi kebijakan, dan memperoleh jabatan.  Kinerja  pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi Sebagai suatu lembaga  internasional yang diakui kredibilitasnya maka laporan TI akan mempunyai  dampak yang buruk bagi pemulihan ekonomi di Indonesia. Sulit  membayangkan perbaikan citra Indonesia hanya dengan retorika  pemberantasan korupsi tanpa suatu tindakan konkrit dan menyeluruh di  semua unsur pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Presiden Yudhoyono  menyadari bahwa pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda  politik yang harus menjadi prioritas kabinet Indonesia Bersatu. Oleh  sebab itu sejak mulainya pemerintahan SBY tanggal 20 Oktober 2004,  Presiden menaruh perhatian dalam penanganan kasus korupsi. Hal ini  tercermin dalam pengungkapan beberapa kasus besar antara lain tindak  lanjut pengungkapan kasus pembobolan bank BNI 1946, kasus korupsi di  Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus illegal logging, kasus penyelundupan  BBM Pertamina dan terakhir dugaan kasus korupsi di Mahkamah Agung, dan  yang terakhir masalah dana Departemen Kalautan dan Perikanan (DKP).  Namun demikian setelah satu tahun pemerintah SBY, tampaknya upaya  pemberantasan korupsi masih terlalu sedikit dan terkesan berjalan di  tempat. Fenomena korupsi masih menjadi business as usual dan sudah tak  asing lagi.Beberapa waktu lalu, pemerintah kita melakukan sebuah  terobosan baru dalam upaya pemberantasan tindakan korupsi. Sebuah  Perjanjian Ekstradisi dilakukan antara RI dan pemerintah Singapura. Ini  dimaksudkan untuk mengusut dan mengadili serta untuk mengambil kembali  aset yang dilarikan oleh koruptor. Ini adalah langkah yang perlu  mendapat dukungan. Tetapi banyak kalangan yang menilai bahwa tindakan  ini adalah lebih bersifat politis. Disaat pamor pemerintah jatuh akibat  berbagai masalah dalam negeri yang belum bisa diselesaikan, pemerintah  mengalihkan perhatian dan berusaha menarik simpati rakyat. Mereka  menilai bahwa ekstradisi tersebut malah merugikan Indonesia. Misi utama  Indonesia adalah untuk mengadili koruptor dan berusaha mengambil aset  yang dicurinya. Tetapi permasalahannya adalah bahwa sistem hukum antara  Indonesia-Singapura sangatlah berbeda. Walaupun perjanjian tersebut  telah disepakati, tetapi pihak pengadilan di Singapura memiliki hak  untuk menolak ekstradisi atas dasar persamaan hukum, dan  yurisprudensi.Pemberantasan korupsi            Bagaimana usaha  memberantas KKN di Indonesia? Untuk memberantas korupsi, tentu kita  harus melihat terlebih dahulu penyebab korupsi itu sendiri. Dengan  mengetahui penyebabnyua, akan dapat dengan mudah menghambat  pertumbuhannya dan baru dapat dimusnahkan. Oleh karena itu ada beberapa  penyebab yang bisa mendorong timbulnya korupsi.Reformasi birokrasiHal  yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi berdasarkan penyebabnya  adalah diperlukan adanya pemimpin yang memiliki komitmen terhadap  reformasi kenegaraan secara luas dan pilihan kebijakan pembangunan yang  ditujukan pada kepentingan rakyat. Kedua, adalah reformasi struktural  sangat diperlukan, seperti independensi sistem peradilan dan sistem  perekonomian negara (seperti pengumpulan pajak dan bea-cukai, peraturan  dunia usaha). Selanjutnya, hal ketiga adalah reformasi pemerintahan  untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sektor publik. Dan  faktor keempat adanya patisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan  publik. Semua langkah yang dilakukan untuk memberantas korupsi tidak  akan pernah berhasil tanpa addanya komitmen dari semua elemen baik  masyarakat maupun pemerintah. Suatu tekad dan komitmen diperlukan untuk  mereformasi pemerintahan sehingga dapat mengurangi korupsi. Namun upaya  reformasi ini akan berhasil hanya jika para pimpinan politik mau memikul  tanggung jawab dan penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu. Sebab  selama ini pemerintah terkesan tebang pilih dalam menangani masalah KKN.  Kasus yang menyangkut pejabat yang berpengaruh biasanya akan menjadi  lunak, penanganannya diperlama, bahkan cenderung untuk ditutup kasusnya.  Kita ambil contoh kasus korupsi yang menimpa pejabat era orde baru.  Manakah kasus yang berhasil deselesaikan?. Bahkan disaat rakyat muak  dengan korupsi yang dilakukan oleh rejim tersebut, pemerintah malah  mengelauarkan SKP3, terhadap kasus Soeharto. Ini salah satu bukti  konkret tidak adanya komitmen dari pemerintah untuk membrantas penyakit  bangsa ini.Revitalisasi ParpolTernyata juga partai politik memiliki  andil besar pula dalam pembenahan Negara dari penyakit korupsi.  Pasalnya, sebagian besar aktor politik yang memangku jabatan publik  dalam pemerintahan adalah dilahirkan dari rahim partai  politik.Seharusnya partai politik mampu berperan secara profesional.  Yaitu Parpol bertugas untuk menyeleksi calon-calon yang akan memangku  jabatan publik. Artinya fungsi rekruitmen politik dari Parpol harus  berfungsi sebagai mana mestinya. Orang yang akan memimpin negeri ini dan  dipercaya untuk memikul tanggung jawab dari rakyat, harus memiliki  kapabilitas yang memadai sebagai seorang pemimpin dan wakil rakyat.  Secara singkat, untuk menunjang program pencegahan dan pemberantasan  korupsi perlu juga dilakukan revitalisasi Parpol. Saat ini timbul sebuah  stigma bahwa politik dijadikan alat untuk melakukan korupsi. Politik  telah dijadikan sebuah jalan untuk mencari keuntungan.Untuk upaya  pencegahan dan pemberantasan korupsi, selain yang sudah disebutkan, juga  perlu adanya akses—dari lembaga yang menanganni pemberantasan korupsi  atau pihak yang berwenang—kepada instansi atau lembaga tempat menyimpan  atau menyembunikan aset para koruptor seperti Bank. Peran perbankan  sangat menonjol dalam upaya pendeteksian dini maupun pemberantasan  tindak pidana korupsi. Perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya  merupakan garda depan dan ujung tombak yang berperan mendeteksi secara  dini indikasi terjadinya korupsi yang mengejawantah dalam bentuk money  laundering di dunia perbankan.Kebebasan penyidikan pada BankPada awalnya  prinsip kerahasiaan menjadi kendala bagi penyelidikan kasus korupsi.  Kerahasiaan data bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang  Perbankan tersebut berseberangan dengan kewenangan KPK selaku pihak yang  berwenang dalam menangani masalah korupsi, untuk mengakses dan  memblokir rekening bank.Dalam konteks globalisasi perdagangan dan  perbankan, kerahasiaan bank trsebut sudah tidak dipermaslahkan lagi,  karena telah dirumuskan pengecualian baik dalam Undang-undang nasional  maupun hukum internasional. Misalnya Konvensi Menentang Korupsi  (Convention Against Corruption, 2003) yang telah diadopsi oleh  pemerintah kita pada ekhir Desember 2003. Konvensi itu menuntut agar  tiap Negara peserta sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka  kerahasiaan bank untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi.   Akibat KorupsiKonsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses  demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan yaitu korupsi dapat  mendeegitimasikan proses demokrasi itu sendiri karena dengan tindakan  korupsi akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses yang  sedang berjalan. Dengan berkembangnya budaya korupsi akan mendistorsi  nilai-nilai dalam perumusan dan pengambilan kebijakan publik. Dengan  adanya budaya korupsi dalam politik, akan dapat mempengaruhi  akuntabilitas dan kapabilitas seorang aktor politik. Korupsi  mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu  rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu  pembangunan yang berkelanjutan. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem  ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang  luar negeri. Bagaimanapun, korupsi bukanlah suatu tindakan yang dapat  dibenarkan baik secara politik, hukum, maupun secara moral. Sejarah di  negeri ini membuktikan bahwa akibat korupsi, negara menjadi hancur dan  sulit untuk pulih kembali dari terpaan krisis yang melanda sepuluh tahun  yang lalu.
***Daftar Pustaka  D’Fahmi, Mu’adz. 2006, “Perbankan dan Upaya  Pemberantasan Korupsi”, sumber Media Indonesia, 27 September 2006, dalam  http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1235.  Djani,  Luky. http://www.antikorupsi.org/newsart/mungkinkah.htm.  Gaffar, Afan.  1999, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta. Hendardi, 2003, “Tahap Perkembangan Korupsi”, dalam  http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16.   http://www.transparency.org/surveys/index.html#cpi  KPK. 2006, Memahami  Untuk Mambasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi,  Penerbit KPK, Jakarta. KPK. 2006, “Perbankan dan Upaya Pemberantasan  Korupsi”, http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1235.  Kompas,19 Oktober 2005.
 
0 komentar:
Posting Komentar