Organisasi & Arsitektur Komputer


Organisasi & Arsitektur
  • Organisasi Komputer adalah bagian yang terkait erat dengan unit–unit operasional dan interkoneksi antar komponen penyusun sistem komputer dalam merealisasikan aspek arsitektur-nya. Contoh aspek organisasional adalah teknologi hardware, perangkat antarmuka, teknologi memori, sistem memori, dan sinyal–sinyal kontrol.
Arsitektur Komputer lebih cenderung pada kajian atribut–atribut (karakteristik) sistem komputer yang terkait dengan seorang programmer. Contohnya, set instruksi, aritmetika yang digunakan, teknik pengalamatan, mekanisme I/O.

lirik lagu


Bondan Prakoso and Fade 2 Black
 Not With Me

Titz
I'm walking up from my summers dreams again
try to thinking if you're alright
then I'm shattered by the shadows of your eyes
knowing you're still here by my side
*reff:
I can see you if you're not with me
I can say to my self if you're OKAY
I can feel you if you're not with me
I can reach you my self, yuo show me the way

life was never be so easy as it seems
'till you come and bring your love inside
no matter space and distance make it look so far
still I know you're still here by my side
back to *reff

Bondan:
yea..you've made me so alive ,you give the best for me..love and fantasy
yeah..and i never feel so lonely, coz you're always here with me..yeah..always here with me
back to *reff
I'm walking up from my summers dreams again
try to thinking if you're alright
then I'm shattered by the shadows of your eyes
knowing you're still here by my side

cerpen

BAYANGAN KESALAHAN
“Callista!!!” teriak sahabatku, Sidney berlari menghampiriku.
Pesta yang diadakan di kampusku ini adalah acara besar-besaran. Acara sudah dimulai pukul 19.00 dini hari. Panitia menyewa atap gedung ini karena ingin mengadakan acara di alam terbuka dan kebetulan tempatnya juga luas. Banyak mahasiswa kampus yang hadir. Bahkan mahasiswa yang bukan dari kampusku, juga banyak yang datang.
Pesta malam ini penuh sesak. Ramai dan berisik sekali. Sebenarnya aku tidak suka keadaan begini. Tapi karena kost-an ku dekat sini dan Sidney memaksaku untuk datang, jadi tidak ada alasanku untuk menolak. Apalagi ia menyogokku dengan bir, bagaimana mau menolak. Di acara ini memang tersedia banyak bir dengan berbagai macam merek. Dan aku menyukai bir. Sangat!!!
”Loe masih minum??” tuduh Sidney ketika sampai tepat di hadapanku.
”Udah nggak,” elakku, “cuma dikit tadi.”
Kening Sidney mengernyit melihat tubuhku yang sedikit gemetar. Memasang tampang mengejek. “Dikit sampai mabok gini loe! Dasar! Eh, Aldrich udah mau tampil ntu! Gue nggak boleh ketinggalan. Mau ikut ke depan nggak?” Aldrich adalah penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun. Sidney sangat mengaguminya. Ia bersemangat menghadiri pesta kampus karena salah satu bintang tamu yang diundang adalah artis pujaannya.
“Nggak usah.” Seperti yang aku bilang tadi. Aku paling tidak suka keramaian apalagi berdesak-desakan di depan panggung.
“Ya sudah. Gue ke sana sendiri aja,” Sidney segera meninggalkan aku dan menyelinap ke depan panggung.
Aku melihat Aldrich cukup jelas dari sini. Penyanyi tampan yang sedang naik daun itu melambaikan tangan kepada fans-nya. Tidak perlu mendekat ke depan kalau dari sini juga kelihatan walaupun sedikit… buram. Buram? Entah mengapa, kepalaku mendadak pusing dan pandanganku berubah buram. Apa ini karena minum bir kebanyakan? Tapi, aku baru minum tiga botol kok! Biasanya kalau hanya segitu aku belum mabuk.
Tubuhku mulai terhuyung ke belakang. Aku tahu di belakangku adalah ujung atap gedung ini. Aku bisa saja jatuh karena tidak ada pembatas apapun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol arah langkah kakiku. Dia seakan bergerak semaunya. Dengan ketinggian lebih dari 100 meter. Apa yang akan terjadi pada diriku bila jatuh! TIDAK!!!
BRRUUUUUKKK!!!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku jatuh?
Aku teriak?

Ternyata tidak. Buktinya aku masih sehat sekarang. Tapi, aku merasa ada ingatanku yang hilang. Bahkan sekarang aku sama sekali tidak ingat kejadian saat itu. Malam itu, Sidney mendapatiku sedang dalam keadaan pingsan, tepat di pinggir gedung. Hampir jatuh. Ya, hampir . . .
***
Lima hari setelah malam itu.
Aku bersiap berangkat kuliah. Di tengah perjalanan, aku melihat gadis itu lagi, di jalan kecil yang selalu aku lewati. Aku memang sering lewat jalan kecil di belakang gedung, tempat kampusku mengadakan pesta lima hari yang lalu. Jalan sempit itu yang memudahkanku agar cepat sampai kampus.
“Hhh. . . cewek itu lagi,” keluhku kesal. Semenjak pertemuan pertama di jalan kecil itu, perjalananku sedikit terganggu.

Seperti biasa aku berjalan memasuki jalan kecil. Di tengah jalanan kecil itu, langkahku terhenti karena terhalangi. Aku melihat seorang perempuan cantik berambut ikal sebahu berwarna coklat keemasan, berdiri tanpa melihatku. Dia duduk berselonjorkan kaki. Padahal ada aku berdiri di dekatnya. Entah dia sengaja atau tidak, tapi aku tidak bisa lewat. Tidak sopan bila melewatinya begitu saja.
“Maaf, mbak. Permisi.”
Perempuan ini tidak merespon.
Ku tinggikan suaraku. “Permisi!”
Dia menoleh ke arahku. “Kamu melihat saya?” tanyanya tiba-tiba seraya berdiri.
Aku melotot marah. “Mbak kira saya buta? Saya cuma mau lewat. Mana bisa saya lewat kalau ada mbak di situ. PERMISI!”
 Perempuan itu segera menghindar mempersilahkan aku lewat sambil berkata, “Ma… maaf…”

Dan setelah kejadian itu, setiap aku lewat jalan itu, ia selalu ada dan meminta pertolonganku. Sekarang aku sudah di sini. Tepat di depan jalan kecil itu. Apabila mengambil jalur lain akan memperlama perjalanan. Lagipula aku juga berjalan. Pasti lelah. Ya, sudah tidak apa-apa. Aku mulai berjalan menuju jalan kecil itu. Dan sesuai dugaanku. Perempuan itu melihatku, lalu menghampiriku dengan cepat.
“Permisi, saya…” ujar gadis itu memulai.
“Maaf, mbak. Sudah berulang kali saya bilang sama mbak kalau saya nggak bisa mengabulkan permintaan mbak. Sorry dan permisi,” potongku cepat.
“Mbak, please. Sekali ini aja.” Perempuan itu mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya. “Saya ingin mbak kasih cincin ini ke Aldrich. Saya nggak bisa minta tolong orang lain karena . . .” air mata gadis itu perlahan mulai tumpah.
‘Ini orang kalau jadi fans-nya Aldrich nggak usah lebay gini donk! Pake gue yang kena gilanya pula! Huuuh! Kalau dia hampir nangis gini gue jadi tambah bingung!’ umpatku keki.
“Please, saya nggak akan mohon-mohon sama mbak lagi seterusnya. Karena itu, saya mohon sekali ini saja. Bilang sama dia kalau saya terima cincin ini dan saya sayang banget sama dia,” pinta gadis itu tidak putus asa sambil berusaha menahan air matanya.
“NGGAK BISA!” bentakku keras. Tangis gadis itu pun pecah. Secepat kilat aku berlalu dari sana. Sudah dari tiga hari yang lalu, gadis ini terus memintaku seperti ini. Dan tentu saja aku selalu menolak. Tapi, dia juga tidak putus asa. Kasihan sih… Tapi, kenapa aku yang disuruh, bukan orang lain. Dan kenapa bukan dia saja yang menemui Aldrich langsung.
***
Siang hari, setelah pulang dari kampus. Sahabatku, Sidney yang satu kost denganku sedang duduk santai sambil membaca majalah.
“Cal!!! Gue punya berita baru yang bakalan buat loe tertarik!”
Aku yang baru sampai dari kampus mengerutkan dahi sambil memandang aneh sahabatku. ‘Buat gue apa buat loe?’ pikirku tidak yakin. Sidney menarikku hingga duduk di sebelahnya.
“Lihat deh…” Sidney menyodorkan majalah ke pangkuanku. “Ini berita tragisnya Aldrich. Kasihan deh!” Sidney membuka penjelasannya.
“Tragis?” sahutku sok peduli.
Sidney membuka-buka majalahnya kemudian terhenti di sebuah topik. “Aldrich nembak cewek dan sedang menunggu balasan dari cewek itu. Dia ngasih cewek itu cincin. Dan kalau cewek itu nerima dia, cewek itu harus pake cincin itu dan datang ke konsernya.” Sidney menjelaskan panjang lebar. “Dan loe tahu nggak konsernya di mana?” lanjutnya lagi.
“Nggak,” jawabku malas.
“Di gedung pesta kita waktu itu. Ingat nggak waktu pesta besar-besaran kampus kita lima hari yang lalu. Di konser itu maksudnya. Kok gue bisa nggak nyadar ya?” cerocosnya berbicara sendiri. “Dan ini foto cewek itu…”
Sidney memakasaku untuk melihat foto gadis itu. Aku melihat majalah itu dengan malas. Mataku terbelalak. Foto gadis yang ada di majalah itu sama persis seperti gadis yang beberapa hari ini aku temui di jalan kecil. Yang selalu meminta tolong padaku untuk memberikan sebuah cincin kepada Aldrich.
“Cewek itu namanya Via. Dan malangnya, dia meninggal dan di temukan di jalan kecil belakang gedung. Dan itu sebelum Via menjawab penembakannya Aldrich. Kasihan banget ya…” seru Sidney iba sambil melanjutkan topiknya yang membuatku terkejut setengah mati.
“MENINGGAL???” Darahku naik ke atas kepala. Aku terpaku sesaat.
“Yup,” jawabnya singkat.
Tidak mungkin!!! Aku baru saja melihatnya dan setiap hari aku melihatnya. “Lima hari yang lalu???” Dadaku sesak sekarang.
“Iya. Ini baca aja!” Sidney menunjuk artikel yang sedang dibicarakan.
Aku tidak perduli dengan artikel itu. Bukan itu yang aku pikirkan sekarang. “Di trotoar belakang gedung kita pesta waktu itu?” tanyaku dengan napas tersedat.
Sidney mengangguk-anggukan kepalanya bingung melihat reaksiku. “Emang ada apa sih?” tanya Sidney akhirnya.
Aku memindahkan majalah yang ada dipangkuanku dan segera berlari pergi.
“Caaaal, Callista!!” panggil Sidney.
Aku terus berjalan keluar. Aku kembali ke jalan kecil dan mencari gadis itu. Sesampainya di sana, gadis itu sudah tidak ada. Aku terus mencarinya di sepanjang jalan.
Tapi. . . Tidak ada.
Seketika tubuhku terkulai lemas. Aku berlutut kelelahan. Kepalaku menunduk sambil memejamkan mata.
Malam itu. Pesta. Gedung. Minuman keras. Trotoar. Mabuk.
Hampir jatuh. Iya, hampir jatuh! Tapi...
Bukan hampir jatuh, tapi memang sudah jatuh!
Dan semua ini bukanlah mimpi. Teriakan itu juga…

Tubuhku mulai terhuyung ke belakang. Aku tahu di belakangku adalah ujung atap gedung ini. Dia seakan bergerak semaunya.
Sementara itu, ada seorang gadis yang sedang mencari celah untuk melihat ke arah panggung. “Hah, Aldrich sudah ada di panggung. Sebentar lagi dia mulai bernyanyi. Via harus melihat dia.” Gadis yang bernama Via itu celingak-celinguk mencari celah agar bisa melihat Aldrich. “Tapi bagaimana Via melihat dengan kerumunan orang sebanyak ini?”
Aku bisa saja jatuh karena tidak ada pembatas apapun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol arah langkah kakiku.
Via melihat cincin yang terpasang di jari manisnya. Dia tersenyum sambil berbisik, “kamu harus tunggu aku, Aldrich. Via akan ke backstage setelah lihat kamu nyanyi.”
Dengan ketinggian lebih dari 100 meter. Apa yang akan terjadi pada diriku bila jatuh! Kemudian Via melihat suatu tempat yang sepertinya dapat jelas melihat ke arah panggung. Dengan cepat, Via berlari ke tempat yang ia maksud. Ia memilih melewati jalan sepi di pinggir gedung tinggi daripada bersesak-sesakan dengan orang banyak. Dia harus melewati meja-meja penuh makanan dan bir yang diletakan di pinggir gedung. Sebenarnya, meja-meja itu adalah batasan abstrak untuk mencegah seseorang jatuh karena gedung ini tidak memiliki batasan. Tapi, Via nekat melewatinya. Via tidak takut melewatinya karena memang tidak berbahaya bila tidak disengaja. Tapi, TIDAK!!!
Suasana di atas gedung itu sangat ramai dan berisik. Karena itu, pasti tidak akan ada yang tahu apabila ada orang yang jatuh dari tempat itu.
Aku sama sekali tidak tahu bila ada seseorang yang berlari mendekat ke arahku. Dan sesampainya Via tepat di belakangku, ia terdorong olehku. Aku selamat, tapi . . .
BRRUUUUUKKK!!!
Aku jatuh?
Iya, itu aku yang jatuh lemas di sebelah meja bir dan meja bir masih ada di atas gedung.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku teriak?
Bukan! Kali ini bukan aku yang teriak!!!

Aku sudah ingat kejadian pesta malam itu. Aku pembunuh!!! Aku membunuh dia. Aku yang membunuhnya!!! Oh, Tuhan kenapa harus begini! Apa ini balasan karena hobiku yang suka minum? Atau karena apa???
Itu mengapa Via memintaku untuk memberikan penjelasan kepada Aldrich. Hanya aku yang dapat melihatnya karena aku yang membunuhnya! Ketika membuka mata, air mataku tumpah. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Menyesal pun tidak ada gunanya.
Tapi, ternyata Tuhan memberikan aku satu kesempatan. Tidak aku sangka, aku melihat cincin itu ada di depanku. Kemudian harapan baru muncul di benakku. Aku harus memberikan cincin ini kepada Aldrich bagaimana pun caranya. Lalu aku mengambilnya dan segera berlalu dari tempat itu.
***
“Tapi, saya harus bicara sama Aldrich!”
“Maaf, mbak. Kalau mau bertemu harus ada janji dulu. Saya nggak bisa membiarkan mbak masuk seenaknya,” jelas satpam yang menjaga rumah Aldrich.
“Ada apa, Pak?” Setelah cukup lama aku bercengkrama dengan pak satpam tanpa hasil, akhirnya Aldrich keluar.
“Ini, Den! Mbak ini memaksa masuk. Katanya ingin bertemu aden. Padahal saya sudah bilang kalau belum ada janji tidak boleh masuk. Tapi, tetep saja mbak ini memaksa.” Baru pertama kali aku berhadapan langsung dengan artis kesukaan Sidney dengan jelas. Apalagi sekarang dia memandangku. OMG! Tapi ini semua tidak penting. Yang lebih penting adalah menyampaikan pesan Via untuk laki-laki ini.
“Aldrich, gue harus bicara sama loe. Ini penting banget!” tancapku cepat.
Aldrich bingung menatapku. “Loe kan yang waktu itu...” Aldrich berusaha mengingat sesuatu. “Oh, atau kalau cuma mau minta tanda tangan…”
Aku mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala. “Bukan… bukan itu yang gue mau.”
“Apa lagi sih mbak. Mendingan mbak pergi, deh! Daripada saya yang seret mbak dengan kasar!” paksa pak satpam tidak sabar. Kemudian Aldrich segera kembali ke dalam rumahnya tidak peduli.
“Ini tentang Via!” teriakku kemudian.
Langkah Aldrich terhenti. Dia berbalik ke belakang. Dia memandangku sesaat.
“Tolong, Pak. Bawa dia keluar.”
APA! Aku kaget. Sudah lelah aku datang sampai ke depan rumahnya. Dia malah mengusirku. Ternyata seperti dugaanku. Menemui artis memang mustahil. Ya iyalah ya… Apalagi artis sombong seperti dia! Lalu setelah ini aku harus bagaimana???
Aku berjalan menjauhi rumah Aldrich.
Hhh . . .
Padahal aku harus memberikan cincin . . .
Cincin? Aku meronggoh kantong celanaku. Tidak ada.
“Ya ampun, cincinnya jatuh di sana! Gawat! Nggak mungkin gue ke sana lagi. Satpamnya masih nungguin gue biar bener-bener pergi.” Aku menghela napas putus asa. Menangis dalam bayang-bayang kesalahan yang tak dapat diubah. Ingin pergi dari semuanya, tapi tidak dapat. Dan dalam bayangan kesalahanku sendiri, harapanku hilang sudah.
Maafkan aku, Via… Maaf!
***
“Cal, loe cerita donk sama gue. Muka loe kenapa bisa kusut gitu, sih?” tanya Sidney perhatian. Kemarin aku sudah mencoba berbuat sedikit untuk menebus kesalahanku, tetapi tidak ada hasilnya. Karena itu, pagi ini aku hanya berdiam. Aku sama sekali tidak bisa tidur.
“Gue bunuh orang, Ney…” celetukku tiba-tiba. Kenapa bisa aku begitu bodoh bicara suatu hal yang belum aku ceritakan jelasnya bagaimana. Nanti kalau Sidney berpikiran macam-macam, bagaimana? Tapi, aku memang membunuhnya. Tapi, aku tetap takut kalau Sidney akan membenciku.
Sidney mengangkat alisnya. “Hah, siapa emang yang loe bunuh? Tetangga depan bukan? Yang mulutnya comel banget itu… Bunuh aja nggak apa-apa! Hahahaa…” candanya. Wajahku berubah menjadi tidak takut ketika melihat reaksinya.
“Gue nggak becanda, Ney! Gue serius!” Aku menatap tajam Sidney. Mataku mulai berkaca-kaca. Sidney berhenti tertawa.
“Sebenarnya ada apa, Cal?” tanyanya datar.
“Gue kan udah bilang tadi kalau gue itu bun…”
Tok tok tok
Ketukkan dari pintu itu memotong kalimatku.
“Siapa sih pagi-pagi begini? Gue buka dulu.” Sidney bergegas membukakan pintu kost-an. Lima detik kemudian.
“ALDRICH!!!”
***
Lima menit setelah kekagetan kami semua mereda.
“Gue dapat alamat ini dari kampus loe. Gue tahu loe, karena gue inget kalau gue pernah lihat loe pingsan waktu pesta malam itu. Lagipula berita loe pingsan sampai semua orang di sana tahu.”
‘Wah, ternyata berita gue pingsan semua orang pada tahu. Lebay banget! Tapi kok Sidney nggak bilang-bilang ya? Dasar!’ batinku.
“Gue nyari loe dari kemarin. Gue ke sini mau minta penjelasan loe tentang ini…” Aldrich mengeluarkan cincin dari kantong celananya. Itu cincin Via yang jatuh di depan rumah Aldrich. “Gue udah tahu semuanya. Gue udah selidiki,” kata Aldrich berterus terang. HAH!!! Apa maksudnya?!? Apa Aldrich sudah tahu kejadian sebenarnya? Dugaanku tepat! Dan dia kemari untuk menangkapku!
“Loe mau tangkap gue?” tebakku sedikit gusar.
“Tangkap?”
“Loe udah tahu kan kalau gue yang…”
“Emang loe lihat gue bawa polisi ke sini? Gue justru mau minta maaf karena waktu itu gue ngusir loe.”
Hah! Apa aku tidak salah dengar. “Jadi, mau loe apa?”
“Penjelasan,” ucapnya mantap. Mendadak ingatanku hilang. Aku heran kenapa semua ini dapat terjadi padaku.
Tiba-tiba, mataku mendapati bayangan Via yang sudah berada di serong belakang Aldrich. Aku terkejut karena melihat Via juga hadir di sini. “Via!”
Via mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya di bibirnya sambil menggelengkan kepalanya. Aku tahu maksudnya.
“Hei, jangan diam saja! Via bilang apa aja sama loe?” tanya Aldrich penasaran.
“Hmm…” Via yang hadir di sini membuat aku ingat apa yang harus aku katakan. “Via bilang…”
Aldrich masih menunggu dengan tenang. Tapi, tidak begitu dengan wajahnya yang kelihatan penasaran.
“Dia terima loe. Dia sayang banget sama loe. Makanya waktu itu dia datang ke pesta kampus gue. Dan sesuai keinginan loe, dia pake cincin itu.”
Wajah Aldrich berubah berseri. Tampak kebahagiaan di sana.
“Tapi, karena gue...” kalimatku berhenti. “Masa loe nggak marah sama gue sama sekali?” selidikku.
Raut wajah Aldrich berubah seketika membuatku tegang. “Marah? Ya, pastilah! Awalnya gue nggak terima. Gue benci dan sedih banget waktu tahu kalau Via sudah pergi selama-lamanya. Tapi, ini semua kan nggak loe sengaja. Gue juga ngerti kok gimana perasaan loe. Pasti shock banget. And gue rasa Via pasti maafin loe. Jadi, kenapa gue nggak. Dan satu lagi, hati gue bilang kalau ada suatu hal yang perlu gue tahu dari loe. Dan ternyata benar, Via ngasih tahu loe sesuatu yang nggak gue tahu. Dan sekarang…” Aldrich menarik tanganku, membawaku dalam dekap pelukkannya. Aku kaget. Takut melihat Via marah karena ini. Tapi ternyata Via tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kali ini aku tidak mengerti maksudnya. “Semua sudah terjawab.”
Aldrich melepaskan pelukkannya. “Thanks ya… Rasa penasaran gue tetang Via sudah selesai sekarang. Gue sempet berpikir kalau Via nggak sayang sama gue,”
“Eits… Tunggu dulu! Dari tadi kalian ngomong apa sih? Kok gue sama sekali nggak tahu. Via? Itu cewek loe kan, Drich? Terus kenapa Loe bisa ada di sini? Emang loe kenal kita? Terus kenapa loe bilang ditangkap, Cal? Emang loe salah apa? Terus . . .” serbu Sidney dengan pertanyaan beruntut.
Oh iya, aku hampir lupa kalau ada Sidney. Dapat aku lihat, Via tertawa karena tingkah sahabatku itu. Via adalah bayangan kesalahanku. Dan kini bayangan Via semakin memudar di mataku. Terakhir yang aku lihat, Via melambaikan tangannya dan tersenyum ke arahku. Kemudian hilang. Apa artinya semua masalah ini sudah beres?
Oh, belum. Masih ada satu hal lagi. Aku masih harus menceritakan semua kejadian ini dari awal pada sahabatku yang satu ini. Pasti dia bingung dan kaget sekali bagaimana bisa Aldrich datang kemari. Dan dia juga pasti sangat kesal dan iri karena dengan tiba-tiba artis pujaannya itu memelukku.
Hahahahahaaaaaa...
THE END
by: Augusta Dorothy Kirana

contoh program sederhana cobol


1. IDENTIFICATION DIVISION
Berisi informasi tentang identitas program bersangkutan (nama program, nama pembuat, tanggal program dibuat, dll). IDENTIFICATION DIVISION tidak mempunyai pengaruh terhadap proses program, hanya sebagai identifikasi.
2. ENVIRONMENT DIVISION
Berisi informasi tentang keadaan komputer dan alat – alat yang digunakan.
3. DATA DIVISION
Divisi ini terdiri dari beberapa section yaitu
· FILE SECTION· WORKING STORAGE SECTION· SCREEN SECTION· LINKAGE SECTION· REPORT SECTION.
4. PROCEDURE DIVISION
Divisi ini adalah inti dari pemrograman COBOL karena semua prosedur
pekerjaan proses dari input data menjadi output.


 

Popular Posts this month

Popular Posts this week